Guratan duka nampak jelas di wajah tuanya. Sesekali pandangannya di lemparkan ke jalan raya. Menikmati lalu lalang kendaraan yang meninggalkan asap abu abu. Bergelembung gelembung. Menyesakkan dada.
Ini bukanlah pertama kali aku melihat lelaki tua itu. Dulu aku sering menjumpainya di pasar Tsuen Wan. Di bawah escalator menuju lantai satu. Dia berjualan daun bawang. Aku sempat berpikir dapatkah dia bertahan hidup dengan mengandalkan pekerjaan itu ? Seikat daun bawang harganya HK$ 1.00. Sementara satu porsi nasi harganya HK$ 25.00, berarti paling tidak dia harus menunggu lima puluh orang datang membeli dagangannya agar dia bisa makan dua kali sehari. Lalu bagaimana dengan modalnya. Menurutku menunggu orang sebanyak itu bukanlah hal yang mudah, karena di Hongkong daun bawang dapat di peroleh secara cuma cuma ketika membeli sayuran.
Kadang aku melihatnya duduk di tempat istirahat para pengunjung pasar. Dengan sekantong plastic besar besar di sampingnya. Dia akan duduk di sana ketika petugas pasar datang, karena kalau sampai ketahuan dia berjualan di situ, maka para petugas pasar akan mengusirnya.
Terakhir aku melihatnya, ketika dia dengan tergesa memasukkan dagangannya ke dalam kantong plastik. Tiga orang berseragam biru biru berdiri mengelilinginya. Aku duduk di tempat istirahat sambil teru memperhatikannya. Hampir 15 menit aku duduk di sana menunggu hujan reda. Selesai mengemas dagangannya lelaki tua itu berdiri, melangkah pergi dengan menggendong kantong plastiknya. Tertatih dia menerobos lebatnya hujan. Pak tua, apakah saat itu kau menangis ? Apakah air matamu lebih deras dari air hujan yang mengguyur tubuhmu ? Kuperhatikan terus lelaki tua itu, hingga punggungnya lenyap di telan tikungan.
Setelah hampir dua bulan, kini aku melihatnya lagi. Masih seperti dulu, berjualan daun bawang. Cuma tempatnya saja berbeda. Kini dia menggelar dagangannya di bawah jembatan dekat penyeberangan jalan. Aku tak tahu, kenapa kakiku bergerak mendekatinya. “Yat man jung a, emkoi”. Kataku kemudian. Lelaki itu menoleh padaku. Dari jarak yang lumayan dekat aku bisa melihat dengan jelas wajahnya, wajah lelahnya. Tak kutemukan senyum di sana. Matanya mengisyaratkan seperti orang yang putus asa. Dengan gemetar dia mengambil uang dari tanganku. Aku tahu dia gemetar bukan karena takut apalagi segan padaku, tapi karena usialah yang membuat dia begitu.
“Toce sai”. Katanya kemudian, sambil memberiku seikat daun bawang. Dia tersenyum padaku. Subhanalloh, tak kusangka uang satu dollar bisa membuat orang itu tersenyum. Apakah satu dollar itu sangat berharga baginya? Tiba tiba gerimis merembesi batinku.
Di negara maju sperti Hongkong ini, dimana kesejahteraan manula terjamin, masih saja dapat aku temui orang seperti dia. Lalu bagaimana dengan negeriku. Adakah orang seperti lelaki ini ? Mungkin ada, atau mungkin jumlahnya melebihi jumlah bintang di angkasa, hingga kita tak perlu lagi memikirkannya.
Ini bukanlah pertama kali aku melihat lelaki tua itu. Dulu aku sering menjumpainya di pasar Tsuen Wan. Di bawah escalator menuju lantai satu. Dia berjualan daun bawang. Aku sempat berpikir dapatkah dia bertahan hidup dengan mengandalkan pekerjaan itu ? Seikat daun bawang harganya HK$ 1.00. Sementara satu porsi nasi harganya HK$ 25.00, berarti paling tidak dia harus menunggu lima puluh orang datang membeli dagangannya agar dia bisa makan dua kali sehari. Lalu bagaimana dengan modalnya. Menurutku menunggu orang sebanyak itu bukanlah hal yang mudah, karena di Hongkong daun bawang dapat di peroleh secara cuma cuma ketika membeli sayuran.
Kadang aku melihatnya duduk di tempat istirahat para pengunjung pasar. Dengan sekantong plastic besar besar di sampingnya. Dia akan duduk di sana ketika petugas pasar datang, karena kalau sampai ketahuan dia berjualan di situ, maka para petugas pasar akan mengusirnya.
Terakhir aku melihatnya, ketika dia dengan tergesa memasukkan dagangannya ke dalam kantong plastik. Tiga orang berseragam biru biru berdiri mengelilinginya. Aku duduk di tempat istirahat sambil teru memperhatikannya. Hampir 15 menit aku duduk di sana menunggu hujan reda. Selesai mengemas dagangannya lelaki tua itu berdiri, melangkah pergi dengan menggendong kantong plastiknya. Tertatih dia menerobos lebatnya hujan. Pak tua, apakah saat itu kau menangis ? Apakah air matamu lebih deras dari air hujan yang mengguyur tubuhmu ? Kuperhatikan terus lelaki tua itu, hingga punggungnya lenyap di telan tikungan.
Setelah hampir dua bulan, kini aku melihatnya lagi. Masih seperti dulu, berjualan daun bawang. Cuma tempatnya saja berbeda. Kini dia menggelar dagangannya di bawah jembatan dekat penyeberangan jalan. Aku tak tahu, kenapa kakiku bergerak mendekatinya. “Yat man jung a, emkoi”. Kataku kemudian. Lelaki itu menoleh padaku. Dari jarak yang lumayan dekat aku bisa melihat dengan jelas wajahnya, wajah lelahnya. Tak kutemukan senyum di sana. Matanya mengisyaratkan seperti orang yang putus asa. Dengan gemetar dia mengambil uang dari tanganku. Aku tahu dia gemetar bukan karena takut apalagi segan padaku, tapi karena usialah yang membuat dia begitu.
“Toce sai”. Katanya kemudian, sambil memberiku seikat daun bawang. Dia tersenyum padaku. Subhanalloh, tak kusangka uang satu dollar bisa membuat orang itu tersenyum. Apakah satu dollar itu sangat berharga baginya? Tiba tiba gerimis merembesi batinku.
Di negara maju sperti Hongkong ini, dimana kesejahteraan manula terjamin, masih saja dapat aku temui orang seperti dia. Lalu bagaimana dengan negeriku. Adakah orang seperti lelaki ini ? Mungkin ada, atau mungkin jumlahnya melebihi jumlah bintang di angkasa, hingga kita tak perlu lagi memikirkannya.