Inikah padang mahsyar itu ? Hatiku menggeliat, tiba tiba sebaris pertanyaan menguap. Hatiku masih berkeliar mencari jawab. Di bawah sengatan matahari ....
Siang itu, minggu 18 Juni 2006. Matahari bersinar dengan garang, menerobos dengan paksa dari balik awan. Seolah ingin membakar apa saja yang ada di permukaan bumi.
Aku dan temanku, Tamy Alvia melangkah memasuki lapangan Victory. Kami berhenti diantara berjubalnya manusia berjilbab yang sedang menanti sholat dzuhur berjamaah. Gerah, panas itulah yang aku rasakan . Aku yakin semua orang yang berada di tengah lapangan merasakan hal yang sama. Tamy yang melihat keadaanku berkali kali mengingatkanku untuk untuk tidak ikut berjamaah. Dia memintaku menepi dan menunggunya di bawah pohon. Mungkin dia takut sesuatu terjadi padaku, karena dia tahu aku tak tahan panas.
Gelaran plastik yang di gunakan alas sholat berseteru dengan matahari. Permadani putih itu memantulkan sinar yang tak bersahabat, menyuguhkan hawa panas. Aku berusaha bertahan. Keringat sebesar biji biji jagung keluar dari pori pori ku. Selesai berjamaah, aku berencana ke masjid Wancai. Di sana ada pengajian dengan penceramah Ust. Rosyadi penemu metode An Nur. Baru saja aku beranjak meninggalakan tempat, tiba tiba Isma menghampiriku. Meminjam mukena. Ku berikan mukena padanya dan menunggunya sampai selesai sholat. Kulihat orang orang semakin banyak memenuhi lapangan. Mereka ingin mendengarkan pengajian. Sehabis dzuhur akan ada pengajian oleh dua ustadzah dari Jakarta dan Malang, serta satu artis muslimah, Wafiq Azizah.
"Panas ya Mbak hari ini". Sapaku pada seseorang yang berada di sebelahku.
"Latihan padang mahsyar Mbak". Jawabnya ringan sambil di iringi sebuah senyuman. Aku tersenyum hambar mendengarnya. Seperti inikah padang Mahsyar ? Ah tidak. Mungkin lapangan ini terlalu indah untuk di sebut padang mahsyar. Lalu seperti apakah padang mahsyar itu. Apakah berupa bentangan sahara dimana anginnya meniupkan pasir dan debu yang panas. Atau berjuta lebih panas dari sahara. Aku jadi merinding. Kali ini keringat dingin yang membanjiri tubuhku. Ya Alloh, Bagaimana mungkin aku bisa menjadi penghuni padang mahsyar akhiratMu, sementara padang mahsyar duniaMu saja aku tak sanggup meenempatinya.
Aku jadi teringat puisi temanku. Nera Andiyanti. Tiap kali mengingat puisi itu, rasa takut selalu menyergap jiwaku. Aku selalu berdoa semoga aku tidak seperti orang yang berada dalam puisi itu.
AKHIR SEBUAH PERJALANAN
Terpuruk, jasadku terlempar
Di luas padang mahsyar diriku terkapar
Meraung memohon diri bernaung
Merangkak, menggapai awan berarak
Namun neraca telah menimbang dengan sempurna
Sekalipun sebesar biji zarah amal terupaya
Luruhlah perjuangan sepi kini
Terganjal sesal tanpa tepi
Dimanakah kesempatan kedua terberikan
Adakah harta dunia sebagai pertolongan
Pasrah!
Hanya rintihan panjang tanpa akhir
Seribu cambukan, sejuta siksaan
Menyusul deru kemalangan
Belas kasih telah sampai titik batas
Meski naas tersekat di ujung nafas
Namun azabNya telah siap membalas
Kenapa janji dulu teringkari
Kenapa kewajiban dulu terabai
Sesal tak lagi sebuah bekal
Ternyata dahaga dunia adalah ketololan
Membuangku jauh dari segala kesalihan
"Mbak ini mukenanya". Suara Isma menyadarkanku. Kuambil mukena itu dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah berbasa basi sebentar aku dan Tamy meninggalkan tempat.
Kami berjalan menyibak kerumunan orang. Sekilas ku lirik ke arah mereka. Mereka mengeluarkan bekalnya. Ada air, ada buah, ada kipas dan masih banyak lagi bekal bekal lainnya. Melihat hal itu, aku jadi melihat pada diriku sendiri. Bekal apakah yang telah aku siapkan untuk menempati padang mahsyar sesungguhnya. Airkah ? Payungkah ? atau aku sama sekali tidak menyiapkan bekal apa apa. Kali ini, air tidak hanya membanjiri tubuhku, tapi juga membanjiri kedua pipiku.
Astaqfirulloh ................
Siang itu, minggu 18 Juni 2006. Matahari bersinar dengan garang, menerobos dengan paksa dari balik awan. Seolah ingin membakar apa saja yang ada di permukaan bumi.
Aku dan temanku, Tamy Alvia melangkah memasuki lapangan Victory. Kami berhenti diantara berjubalnya manusia berjilbab yang sedang menanti sholat dzuhur berjamaah. Gerah, panas itulah yang aku rasakan . Aku yakin semua orang yang berada di tengah lapangan merasakan hal yang sama. Tamy yang melihat keadaanku berkali kali mengingatkanku untuk untuk tidak ikut berjamaah. Dia memintaku menepi dan menunggunya di bawah pohon. Mungkin dia takut sesuatu terjadi padaku, karena dia tahu aku tak tahan panas.
Gelaran plastik yang di gunakan alas sholat berseteru dengan matahari. Permadani putih itu memantulkan sinar yang tak bersahabat, menyuguhkan hawa panas. Aku berusaha bertahan. Keringat sebesar biji biji jagung keluar dari pori pori ku. Selesai berjamaah, aku berencana ke masjid Wancai. Di sana ada pengajian dengan penceramah Ust. Rosyadi penemu metode An Nur. Baru saja aku beranjak meninggalakan tempat, tiba tiba Isma menghampiriku. Meminjam mukena. Ku berikan mukena padanya dan menunggunya sampai selesai sholat. Kulihat orang orang semakin banyak memenuhi lapangan. Mereka ingin mendengarkan pengajian. Sehabis dzuhur akan ada pengajian oleh dua ustadzah dari Jakarta dan Malang, serta satu artis muslimah, Wafiq Azizah.
"Panas ya Mbak hari ini". Sapaku pada seseorang yang berada di sebelahku.
"Latihan padang mahsyar Mbak". Jawabnya ringan sambil di iringi sebuah senyuman. Aku tersenyum hambar mendengarnya. Seperti inikah padang Mahsyar ? Ah tidak. Mungkin lapangan ini terlalu indah untuk di sebut padang mahsyar. Lalu seperti apakah padang mahsyar itu. Apakah berupa bentangan sahara dimana anginnya meniupkan pasir dan debu yang panas. Atau berjuta lebih panas dari sahara. Aku jadi merinding. Kali ini keringat dingin yang membanjiri tubuhku. Ya Alloh, Bagaimana mungkin aku bisa menjadi penghuni padang mahsyar akhiratMu, sementara padang mahsyar duniaMu saja aku tak sanggup meenempatinya.
Aku jadi teringat puisi temanku. Nera Andiyanti. Tiap kali mengingat puisi itu, rasa takut selalu menyergap jiwaku. Aku selalu berdoa semoga aku tidak seperti orang yang berada dalam puisi itu.
AKHIR SEBUAH PERJALANAN
Terpuruk, jasadku terlempar
Di luas padang mahsyar diriku terkapar
Meraung memohon diri bernaung
Merangkak, menggapai awan berarak
Namun neraca telah menimbang dengan sempurna
Sekalipun sebesar biji zarah amal terupaya
Luruhlah perjuangan sepi kini
Terganjal sesal tanpa tepi
Dimanakah kesempatan kedua terberikan
Adakah harta dunia sebagai pertolongan
Pasrah!
Hanya rintihan panjang tanpa akhir
Seribu cambukan, sejuta siksaan
Menyusul deru kemalangan
Belas kasih telah sampai titik batas
Meski naas tersekat di ujung nafas
Namun azabNya telah siap membalas
Kenapa janji dulu teringkari
Kenapa kewajiban dulu terabai
Sesal tak lagi sebuah bekal
Ternyata dahaga dunia adalah ketololan
Membuangku jauh dari segala kesalihan
"Mbak ini mukenanya". Suara Isma menyadarkanku. Kuambil mukena itu dan memasukkannya ke dalam tas. Setelah berbasa basi sebentar aku dan Tamy meninggalkan tempat.
Kami berjalan menyibak kerumunan orang. Sekilas ku lirik ke arah mereka. Mereka mengeluarkan bekalnya. Ada air, ada buah, ada kipas dan masih banyak lagi bekal bekal lainnya. Melihat hal itu, aku jadi melihat pada diriku sendiri. Bekal apakah yang telah aku siapkan untuk menempati padang mahsyar sesungguhnya. Airkah ? Payungkah ? atau aku sama sekali tidak menyiapkan bekal apa apa. Kali ini, air tidak hanya membanjiri tubuhku, tapi juga membanjiri kedua pipiku.
Astaqfirulloh ................